Dikisahkan Susi Handayani
Aku seorang
istri penderita gagal ginjal kronik. Suamiku, seorang guru di sebuah SMA Negeri
di kabupaten Sragen. Suamiku adalah tulang punggung keluarga dan aku hanyalah
seorang ibu rumah tangga.
Pada ssuatu hari
suami merasakan sakit kepala hebat yang disertai demam. Lalu aku periksakan
suamiku ke dokter dan dokter menyatakan bahwa suamiku harus opname. Pada waktu
itu tensi suamiku tinggi dan dari hasil cek lab, kreatien dan ureumnya tinggi.
Setelah dirawat beberapa hari, suamiku diperbolehkan pulang, dan harus control
rutin setiap bulan.
Selama berobat rutin, ternyata
kreatien dan ureumnya semakin tinggi, lingga pada pada suatu hari, suamiku
sakit kepala lagi, namun kali ini selain disertai demam, suamiku juga mual,
muntah dan lemas. Lalu saya bawa ke RS dr. Moewardi Solo, tepatnya tanggal 21
Maret 2012. Pada saat itulah suamiku dinyatakan “gagal ginjal kronik” dan harus
menjalani cuci darah. Pada saai tu aku merasa langit seakan runtuh, sedih,
bingung campur aduk jadi satu. Teringat akan kedua anak kami yang dirumah. Yang
pada saat itu anak pertama kami baru akan menyelesaikan tugas akhir di
perguruan tinggi negeri di Solo. Dan pada saat anak kami wisuda, suamiku tidak
dapat ikut menyaksikan, karena sehari sebelumnya baru pulang dari rumah sakit.
Sedang anak kedua kami menjelang ujian akhir sekolah di SMP. Tetapi di depan
suami aku harus tegar, berusa untuk tidak kelihatan sedih, maupu menangis
didepan suamiku dan terus memberi semangat pada suamiku serta tiada henti
memeohon pada Allah SWT supaya aku kuat mengahadami semua ini. Pada tanggal 26 Maret 2012 suamiku menjalani cuci darah untuk
pertama kalinya dan keesokan harinya suamiku diperbolehkan pulang dari rumah
sakit dan harus menjalani cuci darah satu minggu satu kali di rumah sakit dr.
Moewardi Solo.
Baru beberapa kali manjalani
cuci darah, ada saudaara dating ke rumah menawarkan obat herbal, dan suamiku
tertarik untuk membelinya. Sejak saat itu selain cuci darah, suamiku juga
mengkonsumsi obat herbal. Pada bulan pertama pemakaian obat herbal, kreatien
dan ureum justru semakin tinggi, setelah dinyatakan pada penjualnya, katanya,
“memang begitu pada pemakaian awal, kreatein dan ureum akan naik, itu pertanda
obat bereaksi, nanti perlahan akan turun”. Tetapi kenyataanya pada bulan
berikutnya hasil cek lab naik lagi. Dan anehnya penjual obatnya malah
menganjurkan suamiku untuk berhenti cuci darah dan suamiku nurut saja. Pada saat itu aku tidak dapat
berbuat apa-apa, selain mengikuti kemauan suami. Karena pada waktu itu suamiku
mudah marah dan gampang tersinggung.
Sebenarnya sebelum berhenti cuci
darah, dokter Wachid Putranto, Sp. PD sudah menganjurkan untuk ikut CAPD.
Awalnya mau untuk ikut program CAPD, tetapi kemudian suamiku berubah pikiran,
dan jadi sering marah, apalagi setiap kali mendengar kata CAPD, dia pasti
marah. Bahkan setiap mendengar kata CAPD katanya serasa mau muntah. Dan setelah
berhenti cuci darah, suamiku tetap mengkonsumsi obat herbal.Hingga pada suatu
hari kondisi suamiku ngedrop lagi,dan langsung aku bawa ke rumah sakit Dr.
Moewardi solo,yaitu pada tanggal 16 Agustus 2012 suamiku harus dirawat lagi.dan
dokter kembali menyarankan suamiku untuk CAPD, dan suamiku menyetujui.Tetapi
berhubung pada saat itu menjelang lebaran, pemasangan alat CAPD akan
dilaksanakan setelah lebaran, maka suamiku diperbolehkan pulang dulu, yaitu
pada tanggal 18 Agustus 2012.
Sehabis lebaran, tepatnya pada
tanggal 31 Agustus 2012 suamiku masuk rumah sakit lagi untuk menjalani
pemasangan alat CAPD. Karena saat itu ureum dan keratin suamiku masih tinggi,
maka suamiku harus menjalani cuci darah
untuk menurunkanya. Setelah cuci darah 3 kali berturut – turut dalam
waktu tiga hari, ureum keratin sudah di bawah 5, sesuai yang diminta oleh
dokter anestesi. Maka pada tanggal 3 september 2012 dilaksanakan pemasangan
alat CAPD. Dan Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Keesokan harinya suamiku
sudah di perbolehkan pulang. Ternyata setelah di rumah aku belum bisa tenang,
karena pada malam harinya suamiku nggak bisa tidur gelisah,dan menangis. Dia
kembali sering merasa mual, lemas, dia jadi sering ngomong sendiri, senyum
sendiri, seperti orang kerasukan, dan itu berlangsung berhari- hari, bahkan
mingguan. Dengan kondisi seperti itu yang bisa kulakukan hanyalah mohon
kekuatan pada Allah SWT agar diberi kekuatan dan kesabaran.
Dua minggu setelah operasi, CAPD mulai di
coba, dan Alhamdulillah lancar, sekaligus aku dan suami mendapat pelatihan
penggunaan CAPD di rumah sakit Dr. Moewardi solo selama tiga hari. Dan mulai
saat itu suamiku kondisinya semakin membaik, sudah tidak mual lagi, nafsu makan
juga bertambah, dan semakin hari semakin nyaman, tensinya juga sudah normal.
Dan bisa beraktifitas lagi seperti biasa, yaitu mengajar. Walaupun pada saat
itu suamiku merasa agak minder, karena berat badannya yang sempat merosot. Dengan
semangat yang dia miliki, akhirnya berat badannya sekarang sudah pulih, begitu
juga dengan rasa percaya dirinya. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar